Minggu, 21 Desember 2014

Menghitung Kelayakan Usaha

Sampai pada bagian ke empat ini, kita hanya bicara rencana.  Bagian terakhir dari rencana bisnis adalah menyimpulkan apakah suatu usaha layak untuk dimulai atau tidak. Jangan memaksakan kehendak bila dari hasil penghitungan ternyata suatu bisnis yang diangan-angankan  tidak layak untuk dilakukan.

Langkah awal menghitung kelayakan usaha adalah membuat perkiraan laba dalam suatu periode usaha. Kita bisa menggunakan periode satu bulan, tiga bulanan, atau yang paling sering dipakai adalaha satu tahun, tapi jangan lebih dari satu tahun. Laba adalah hasil penjualan dikurangi biaya. Buat saja dengan sederhana. Menghitung hasil penjualan rasanya tak perlu dijelaskan di sini, semua orang sudah bisa menghitungnya. Sekedar catatan, penjualan setahun diperoleh dari pengkalian penjualan sebulan dengan 12 bulan, sedangkan penjualan sebulan diperoleh dari pengkalian  penjualan sehari dengan 25 hari, kecuali kita buka setiap hari, maka angka pengalinya bisa dengan 30 hari. Berikutnya fokus kita adalah menghitung biaya yang harus dibebankan pada hasil penjualan tersebut.

Untuk mudahnya, kita pakai saja angka kebutuhan bahan baku yang dikeluarkan dalam suatu periode  bisnis sebagai biaya. Misalnya warung makan, biaya yang kita keluarkan adalah pembelian bahan kita. Tapi, untuk bahan baku yang pembeliannya dalam jumlah besar,  misalnya beras, kita membelinya 100 kg sedangkan dalam sehari kita hanya menggunakan 10 kg, maka hitungan biaya untuk beras dibuat proporsional, 10 kg / 100 kg x harga beli.

Bagaimana dengan daftar investasi, apakah dibebankan seluruhnya? Tidak.  Kita harus membuat perkiraan berapa lama peralatan tersebut bisa dipakai. Dari berbagai praktek bisnis, kebanyakan peralatan hanya bisa dipakai optimal dalam waktu 4 tahun, jadi biaya untuk satu tahun kita buat proporsional juga. Bila sebuah kompor kita beli seharga 1 juta rupiah, maka biaya yang kita bebankan selama satu tahun untuk kompor ini adalah 250 ribu rupiah.  Alokasi biaya ini sering disebut sebagai penyusutan, dan pencatatannya di laporan laba/rugi dinamakan beban penyusutan. Bagaimana dengan bangunan dan tanah?  Untuk bangunan permanen, biasanya diakui selama 20 tahun, sedangkan untuk tanah yang dibeli tidak perlu dihitung bebannya. Bila kita gunakan ruang sewa yang dibayar sekaligus beberapa tahun, perlakuannya sama seperti membeli peralatan, biaya sewa itu dihitung proporsional untuk satu tahun.

Biaya berikutnya yang harus kita perhitungkan adalah biaya operasional dan tenaga kerja. Bila laporan laba/rugi itu kita buat tahunan, semua biaya operasional kita hitung dalam setahun.  Yang sering dilupakan adalah biaya tenaga kerja untuk kita sendiri.  Agar usaha dapat berjalan dengan baik, sejak awal perencanaannya kita sudah memisahkan peran kita sebagai pemilik dan peran sebagai pekerja.  Dengan demikian, kita bisa merencanakan  penghasilan dan pola hidup sesuai dengan gaji yang kita terima.

Seluruh biaya itu kita jumlahkan dan hasil akhirnya kita gunakan sebagai pengurang hasil penjualan. Itulah yang disebut sebagai laba usaha.  Bagaimana kita mengatakan usaha itu layak atau tidak? Ada banyak teori manajemen keuangan untuk itu, tapi kita pakai perkiraan yang sederhana saja.  Bagi angka laba tersebut dengan total nilai investasi yang telah kita hitung di depan, sajikan dalam bentuk persentase. Bila hasilnya lebih lebih kurang sama dengan bunga deposito, anggap saja  usaha itu tidak layak. Mengapa? Karena,  kita telah susah payah bekerja dan menanggung risiko kerugian, namun hasilnya sama bahkan bisa jadi lebih kecil dari pada bila uang itu disimpan di bank.  Tapi jangan lupa, kadang memang kondisi itu terjadi untuk awal-awal tahun usaha. Bisa jadi, untuk tahun-tahun berikutnya, usaha itu akan berkembang dan mulai menghasilkan pendapatan yang cukup layak. Dalam hal ini, kita harus hati-hati membuat keputusan bisnis, tidak hanya pada kepentingan jangka pendek, tetapi juga berpikir jauh ke depan.
(dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, Senin, 22 Desember 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar